Contoh-Contoh Misinterpretasi Terhadap Al-Qur`an

Minuman Arak (Khamr) Di Surga

Salah satu topik yang digambarkan oleh orang-orang yang salah dalam menginterpretasikan Al-Qur`an sebagai suatu bentuk kontradiksi adalah bagaimana arak (khamr) disuguhkan di surga, sedangkan arak merupakan minuman haram di dunia. Ayat yang digunakan untuk mengklaim pendapat mereka adalah,

“(Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka, sama dengan orang yang kekal dalam neraka, dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?” (Muhammad: 15)

Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, jenis kesalahan dari persepsi ini terjadi ketika seseorang berprasangka, menentang dengan sengaja, tidak dapat berpikir, dan tidak menerima Al-Qur`an secara menyeluruh. Sekarang, marilah kita menguji mengapa klaim yang tidak berdasarkan pemikiran tersebut tidak rasional dan tidak beralasan dipandang dari berbagai sudut.

Pertama, kita dapat mengetahui bahwa ada satu perbedaan antara minuman yang disuguhkan di surga dan yang ada di dunia berdasarkan ayat,

“Dengan membawa gelas (piala), cerek, dan minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk.” (al-Waaqi’ah: 18-19)

Sebagaimana diketahui, minuman yang disuguhkan di surga tidak memiliki pengaruh-pengaruh negatif dan sifatnya yang merupakan minuman beralkohol adalah arak yang ada di dunia. Sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut, minuman arak di surga tidak mengakibatkan pening atau kekacauan pikiran. Hal ini berarti meskipun memberikan kesenangan, minuman tersebut tidak menyebabkan mabuk atau penyakit. Karenanya, tidak ada ketidakkonsistenan dalam minuman yang disuguhkan di surga.

Sebaliknya, minuman beralkohol yang ada di dunia senantiasa digambarkan dalam Al-Qur`an dengan sifat-sifatnya yang merusak dan menghancurkan. Beberapa ayat yang menggambarkan sifat negatif dan destruktif dari minuman beralkohol yang ada di dunia adalah,

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya, setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingati Allah dan sembahyang. Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (al-Maa`idah: 90-91)

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.’” (al-Baqarah: 219)

Jelaslah, tidak dapat diharapkan bahwa karakteristik-karakteristik dari berbagai minuman yang dilarang di dunia ini juga terdapat di surga. Ketika Allah menggambarkan minuman surga, Dia menekankan sekali lagi bahwa minuman yang ada di surga itu tidak mengandung sifat-sifat yang merusak sebagaimana yang terkandung dalam minuman di dunia,

“Diedarkan kepada mereka gelas yang berisi khamr dari sungai yang mengalir. (Warnanya) putih bersih, sedap rasanya bagi orang-orang yang minum. Tidak ada dalam khamr itu alkohol dan mereka tiada mabuk karenanya.” (ash-Shaffaat: 45-47)

Logika seseorang yang memahami topik ini sebagai suatu kontradisksi pada saat Allah telah menjadikannya begitu jelas, pastilah harus dipertanyakan dengan serius. Inilah salah satu keajaiban Al-Qur`an bahwa ketika seseorang mendekatinya dengan penolakan dan maksud yang tersembunyi, dia tidak akan mampu memahaminya, bahkan terhadap topik-topik yang sangat jelas sekalipun. Allah menggambarkan kondisi orang seperti ini dalam salah satu ayat-Nya,

“Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.” (Yunus: 100)

Kedua, dalam teks Al-Qur`an berbahasa Arab, kata khamr, yang berarti arak dan semua jenis minuman yang beralkohol sebagaimana yang kita ketahui, hanya disebutkan dalam ayat di atas, yaitu ayat 15 dalam surah Muhammad sebagai suatu jenis minuman yang disuguhkan di surga. Pada semua ayat lainnya yang ada dalam Al-Qur`an, kata syarab digunakan sebagai istilah minuman surga dan berarti berbagai jenis minuman dalam bahasa Arab. Dalam beberapa terjemahan bahasa Inggris, kata syarab diterjemahkan menjadi minuman arak, di mana dalam bahasa Arabnya menggunakan kata syarab, yang juga dapat digunakan untuk berbagai jenis minuman non-alkohol. Salah satu ayat Al-Qur`an di mana kata ini disebutkan yang berarti berbagai jenis minuman adalah,

“Di dalamnya mereka bertelekan (di atas dipan-dipan) sambil meminta buah-buahan yang banyak dan minuman di surga itu.” (Shaad: 51)

“Mereka memakai pakaian sutera halus yang hijau dan sutera tebal yang dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak, dan Tuhan memberikan kepada mereka minuman yang bersih.” (al-Insaan: 21)

Interpretasi Salah Lainnya Tentang Minuman Anggur

Dinyatakan dalam ayat 67 surah an-Nahl,

“Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memikirkan.”

Beberapa orang yang memiliki pemahaman terbatas berasumsi bahwa ayat ini memuji minuman anggur dan mengatakan bahwa hal tersebut bertentangan karena anggur merupakan minuman yang diharamkan. Pertama-tama, apabila Anda mengamati dengan saksama, Anda dapat mengetahui bahwa tidak ada pujian seperti itu dalam ayat tersebut. Pujian tersebut lebih pada “buah kurma dan anggur” yang disediakan untuk manusia sebagai makanan yang bergizi. “Memabukkan” yang disebutkan pada bagian pertama dari ayat tersebut adalah apa yang orang saring ambil dari komponen-komponen ini dan menyebabkan mabuk, yang telah disebutkan di beberapa ayat Al-Qur`an sebagai merusak dan salah. Jika seseorang berusaha untuk mencapai kesimpulan bahwa ayat ini sedang memuji atau menganjurkan untuk mabuk, orang tersebut tentu mempunyai maksud tersembunyi dan juga dia sedang melakukan kesalahan yang amat besar dalam memahami dan beropini.

Ayat ini memberikan satu fakta yang sangat signifikan; semua jenis makanan yang dianugerahkan Allah sebagai hidangan, dapat—jika sangat diinginkan—digunakan dalam satu cara yang positif dan bermanfaat atau dapat disalahgunakan dengan memberikan efek akhir yang merusak. Dengan cara yang sama, tergantung pada niatnya, suatu anugerah yang diberikan dapat digunakan untuk akhir yang baik atau jelek dan dapat digunakan untuk halal dan haram.

Di sini, fakta mendasar tentang dunia ini, yang merupakan suatu dasar pengetesan, dibuat jelas dalam kontroversi antara buah anggur dan minuman anggur (arak). Buah anggur, suatu benda yang mengandung kelezatan, gizi, dan menyehatkan dapat disaring atau disuling menjadi suatu zat yang merusak dengan dampak yang negatif dan permanen. Prinsip yang sama juga berlaku bagi semua anugerah yang diberikan Allah kepada makhluk-Nya, seperti kekayaan, uang, kecantikan, kecerdasan, kantor, jabatan, kekuatan, dan kekuasaan. Adalah mungkin untuk menggunakan semua anugerah ini dengan sikap yang sesuai dengan aturan Allah atau untuk tujuan yang merusak dan destruktif sebagai bentuk pengingkaran terhadap nikmat-Nya.

Sebagaimana yang diketahui, Allah dapat mentransformasikan nikmat apa pun, dengan beragam alasan, menjadi berbagai bentuk penciptaan yang berbeda-beda. Dia dapat menjadikan segalanya begitu jelas dan terang dengan satu ayat yang mengandung nilai hikmah mulia yang serupa. Mereka yang mampu menggunakan akalnya akan mengetahui logika yang terkandung dalam ayat-ayat Allah dan memahaminya. Selain itu, lanjutan ayat,

“... Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan,” (an-Nahl: 67) memberikan penerangan tentang hal ini.

Singkatnya, ketika ayat tersebut dibacakan dengan penuh kesadaran dan perhatian, dapatlah kita diketahui bahwa hal tersebut tidaklah bertentangan sama sekali. Upaya-upaya mereka yang mengingkari hal ini untuk menemukan kontradiksi dalam topik yang sudah begitu jelas menunjukkan situasi keputusasaan mereka dalam menghadapi Al-Qur`an.

Klaim Bahwa “Produksi Daging Babi Yang Berada Di Lingkungan Yang Sangat Higienis Dewasa Ini Boleh Dikonsumsi”

Daging babi yang mengandung banyak sifat merusak jika dikonsumsi selama masa Al-Qur`an diturunkan, tentulah masih berlaku hingga saat ini. Pertama-tama, babi—tidak memandang bagaimana higienisnya lingkungan tempat binatang tersebut berkembang biak—adalah tetap seekor binatang yang mengonsumsi kotorannya sendiri. Metabolisme babi menghasilkan banyak antibodi dibandingkan dengan jenis binatang lainnya, baik karena ia memakan kotorannya sendiri maupun karena susunan biologisnya. Selain itu, sistem metabolismenya menghasilkan sejumlah besar hormon pertumbuhan dibandingkan dengan jenis binatang lainnya dan juga manusia. Secara alamiah, antibodi dan hormon-hormon pertumbuhan ini membentuk jalan mereka pada otot-otot babi selama terjadinya sirkulasi dan akumulasi di sana. Di samping itu, daging babi mengandung sejumlah besar kolesterol dan lipid (lemak). Akibatnya, dibuktikan secara saintifik bahwa semua antibodi, hormon, kolesterol, dan lipid yang ada dalam unsur daging babi adalah berbahaya bagi kesehatan manusia.

Dewasa ini, di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Jerman, di mana daging babi sangat populer, obesitas (kegemukan) telah menjadi suatu masalah yang terus berkembang. Setiap orang yang melakukan diet, namun tetap mengonsumsi daging babi akan mengalami peningkatan jumlah hormon pertumbuhan secara pesat dan akibatnya dia akan mengalami kelebihan berat badan dan kemudian badannya akan terus menjadi tidak berbentuk dan cacat.

Dampak merusak lainnya yang kerap terkandung dalam daging babi adalah cacing pita, sejenis cacing parasit yang sangat kecil. Bagian parasit ini memengaruhi otot jantung ketika cacing tersebut memasuki tubuh manusia maka akan menyebabkan suatu risiko fatal. Meskipun demikian, adalah mungkin, dengan teknologi canggih sekarang ini, untuk mendiagnosis babi-babi yang terinfeksi oleh parasit tersebut dan sampai saat ini tidaklah menjadi suatu masalah. Karenanya, di masa lampau, manusia senantiasa menghadapi bahaya dari infeksi yang fatal tersebut.

Sebagaimana diketahui, hikmah di balik tidak diperbolehkannya mengonsumsi daging babi dalam Islam telah tampak. Dalam Islam, suatu ukuran tertentu dan berakar mendalam telah diambil terhadap pengonsumsian daging babi, yang, dengan dalih apa pun, tetap mengandung risiko kesehatan yang tinggi dan menjadi fatal jika tidak berada di bawah pengawasan yang ketat.

Walau bagaimanapun, ada satu hal penting yang harus diingat. Adalah tidak esensial apakah sesuatu itu mengakibatkan sakit atau merusak bagi manusia sehingga sesuatu itu dilarang. Ini adalah bahasan yang menyesatkan orang banyak dan kerap digunakan oleh mereka yang mempunyai maksud tersembunyi untuk mengambil keuntungan dari mereka yang hanya mempunyai sedikit pengetahuan dan menyebabkan mereka bingung. Hal tersebut berarti, klaim penolakan yang mereka buat dengan kalimat, “Sekarang, mengapa hal ini terjadi atau dilarang di dalam Al-Qur`an? Tidak ada yang salah dengan semua ini!” merupakan suatu hasil dari tidak dipergunakannya akal untuk berpikir atau menyadari hikmah dan tujuan wahyu yang ada dalam Al-Qur`an. Orang yang tidak berakal kerap mempersepsikan pendapatnya melalui suatu kacamata yang sempit dan terbatas. Konsekuensinya, mereka tidak pernah mengetahui penyebab dan logika yang ada di belakang semua itu dalam kerangka yang lebih besar.

Allah dapat melarang segala sesuatu apa pun berdasarkan berbagai alasan. Dia juga dapat melarang sesuatu yang tidak merusak untuk menjadi ujian bagi mereka yang benar-benar mempunyai rasa takut kepada-Nya, mencintai dan mematuhi-Nya, seperti halnya untuk mengetahui siapa pula di antara hamba-hamba-Nya yang hanya berpura-pura. Selain itu, sesuatu dapat dilarang oleh Allah untuk tujuan sebagai hukuman atau peringatan, atau sebagai kenangan akan rahmat-Nya dan sebagai salah satu sarana bagi manusia untuk menunjukkan rasa syukur mereka kepada Allah.

Allah juga telah melarang, dalam Al-Qur`an, mengonsumsi semua jenis hewan yang disembelih atas sesuatu selain nama Allah.

“Sesungguhnya, Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang ternak yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya, Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.” (al-Baqarah: 173)

Jelaslah bahwa memakan daging binatang yang disembelih bukan dengan menyebut nama Allah tidak berbahaya bagi kesehatan. Akan tetapi, apabila satu dari dua ekor sapi yang merumput di padang yang sama dan kemudian disembelih dengan menyebut nama Allah, dagingnya halal untuk dikonsumsi. Sebaliknya, apabila sapi yang satunya lagi disembelih dengan tidak menyebut nama Allah, dagingnya menjadi haram untuk dikonsumsi. Salah satu alasan adanya ayat ini adalah tersedianya satu sarana untuk menguji manusia.

Misalnya, larangan yang diberlakukan bagi kaum Yahudi di masa lampau “untuk tidak bekerja di hari Sabtu” yang maksudnya adalah untuk menguji keimanan mereka. Hal ini dinyatakan dalam Al-Qur`an,

“Dan tanyakanlah kepada bani Israel tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari selain Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” (al-A’raaf: 163)

Larangan tentang bekerja di hari Sabtu ini telah diberlakukan bagi kaum Yahudi di masa lampau dan tidak diperintahkan kepada kaum muslimin. Hal ini menunjukkan bahwa larangan ini tidak diperintahkan karena adanya ancaman sosial atau karena ikan yang akan ditangkap oleh warga pada hari Sabtu itu berbahaya untuk dikonsumsi, namun hal tersebut semata-mata untuk menguji kaum Yahudi. Larangan ini berlaku untuk menunjukkan lemahnya keimanan bangsa Yahudi dan lemahnya rasa takut mereka kepada Allah.

Satu larangan yang serupa juga dinyatakan dalam Al-Qur`an yang mengandung tujuan yang sama dan merupakan satu sarana penilaian bagi kaum mukmin sejati,

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombakmu supaya Allah mengetahui orang-orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. Barangsiapa yang melanggar batas sesudah itu, maka baginya azab yang pedih. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-ya yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Mahakuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (al-Maa`idah: 94-96)

Tujuan dari larangan ini dengan jelas dinyatakan dalam ayat tersebut,

“... supaya Allah mengetahui orang-orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya....”

Menciptakan ketenangan dan membidik target mereka adalah bagian dari ujian ini.

Hikmah lain dari ujian terhadap bangsa-bangsa ini adalah untuk menghukum mereka ketika mereka melakukan tindakan yang tidak terpuji atau tidak wajar dan untuk mengingatkan mereka agar bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Beberapa larangan yang ditujukan bagi kaum Yahudi di masa lampau adalah contoh dari hal ini,

“Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku; dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Mahabenar.” (al-An’aam: 146)

Kita dapat menyimpulkan bahwa ada hikmah yang mendalam dalam larangan terhadap sesuatu yang Allah berlakukan untuk tidak dilanggar. Jika kita akan membatasi alasannya karena hal yang dilarang tersebut merusak atau tidak menyehatkan, hal tersebut kurang mengandung pengetahuan dan pemahaman yang memadai terhadap Al-Qur`an.

Begitu juga ada lebih dari satu penyebab dilarangnya daging babi untuk dikonsumsi. Tidak ada keraguan bahwa daging babi senantiasa berbahaya bagi kesehatan manusia sampai saat kini. Ukuran tertentu yang dilakukan terhadap risiko yang selalu dipertanyakan, yang ditemukan oleh alat kedokteran dan tes biologi di masa sekarang, telah terungkap dalam Al-Qur`an 1.400 tahun yang lalu, pada saat seluruh manusia belum mengetahui konsep-konsep seperti mikroba, bakteri, cacing pita, hormon, atau antibodi. Ini merupakan salah satu keajaiban kitab suci ini. Diketahui sekarang ini bahwa—bahkan setelah dilakukan semua tindakan inspeksi dan pencegahan selama proses produksi daging babi—daging babi tersebut secara fisik masih tetap tidak menyehatkan untuk dikonsumsi manusia dan merupakan suatu jenis daging yang membahayakan bagi kesehatan manusia. Meskipun demikian, produksi daging babi hanya memerlukan biaya yang sedikit dan ini menjadi salah satu alasan mengapa beternak babi begitu populer di seluruh dunia. Faktor usaha ini, bila kita perhatikan, dalam beberapa hal hampir menyerupai arus ikan selama hari Sabtunya kaum Yahudi. Pada saat begitu banyaknya sumber daging yang dapat dikonsumsi dan rasanya lezat, seperti daging kambing, domba, ayam, sapi, berbagai jenis burung, beragam hewan sebagai makanan, dan banyak lagi, untuk menggantikan daging babi yang diharamkan oleh Allah, akan dianggap sebagai suatu tindakan yang bermakna.

Karena Al-Qur`an terjamin validitasnya sampai hari kiamat, segala bentuk konsumsi daging babi, kecuali dalam situasi yang sangat mendesak, diharamkan sampai saat ini. Apabila setelah seratus tahun daging babi diberlakukan sebagai sesuatu yang benar-benar berbahaya bagi kesehatan manusia, menghindari pengonsumsiannya tetap merupakan suatu bentuk ibadah bagi kaum mukminin yang sejati. Kemudian masalahnya, untuk memakannya atau tidak, apakah akan menjadi ujian bagi mereka yang menentangnya karena kekurangan akal mereka?

Memandang Kisah-Kisah Dalam Al-Qur`an Sebagai Fabel

Salah satu elemen penting dari gaya Al-Qur`an adalah menerangkan berbagai bahasan melalui contoh-contoh atau perbandingan-perbandingan. Semua ini kerap diungkap dari kehidupan para nabi atau rasul terdahulu atau peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum Al-Qur`an diturunkan. Karena itu, tipe-tipe kisah qur`ani ini mengandung berbagai peringatan, contoh, tanda-tanda, dan pesan bagi umat manusia.

Al-Qur`an mengandung kata-kata penolakan bagi mereka yang tidak mampu menyadari hikmah yang suci ini,

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka berkata, ‘Sesungguhnya, kami telah mendengar (ayat-ayat yang seperti ini), kalau kami menghendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini, (Al-Qur`an) ini tidak lain hanyalah dongengan-dongengan orang-orang purbakala.’” (al-Anfaal: 31)

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Apakah yang telah diturunkan Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Dongeng-dongeng orang-orang dahulu.’” (an-Nahl: 24)

Orang-orang kafir menganggap kisah-kisah ini sebagai mitos dan legenda, meskipun semua itu mengandung informasi pencerahan yang berharga dan berbagai contoh bagi yang benar-benar beriman. Allah menerangkan setiap peristiwa yang mungkin dan hukum-hukum yang berlaku di sepanjang masa dengan memberikan contoh-contoh atau ilustrasi-ilustrasi dari kehidupan para nabi dan bangsa-bangsa terdahulu.

Jelaslah, menyediakan informasi yang historis bukanlah satu-satunya tujuan dari kisah-kisah atau contoh-contoh yang ada dalam Al-Qur`an ini. Kisah-kisah tersebut mengandung sejumlah tujuan suci pula. Kita dapat membuat daftarnya di sini, yaitu sebagai berikut.

  • Untuk memberlakukan hukum Allah yang telah ada sejak penciptaan alam semesta dan mengatur kehidupan kaum mukminin dan kafirin.
  • Untuk menerangkan dan mempersiapkan kaum mukminin yang ada di sepanjang masa dengan berbagai peristiwa, cobaan, atau kekerasan yang pernah mereka alami, seperti bagaimana mereka seharusnya berperilaku dan bertindak, semangat dan hati nurani yang seharusnya mereka miliki, perilaku dan sikap yang yang seharusnya mereka perlihatkan terhadap Allah. Ini untuk menunjukkan kepada kaum mukminin jalan yang benar di setiap subjek.
  • Untuk meningkatkan antusiasme kaum mukminin yang sejati.
  • Untuk mengundang para penentang kebenaran ke jalan yang benar dan untuk mengingatkan mereka yang tidak menerima panggilan ini sebagai konsekuensi dari tindakan yang mereka lakukan.
  • Untuk memberikan kabar gembira bagi para pengikut Al-Qur`an tentang akhir yang indah yang menunggu mereka di dunia dan di akhirat kelak.

Pada kenyataannya, mereka yang mempunyai pengetahuan dan naluri yang sedikit untuk mempersepsikan hal-hal seperti itu, akan menganggap Al-Qur`an sebagai suatu buku cerita dan mereka tidak akan mampu melihat hikmah yang tersembunyi dalam kisah-kisah Al-Qur`an. Pernyataan tentang orang-orang yang menentang dan tidak bernurani dan yang tuli dari berbagai keterangan atau nasihat ini, disebutkan dalam ayat Al-Qur`an,

“Dan di antara mereka ada yang mendengarkan (bacaan)mu, padahal Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya dan (Kami letakkan) sumbatan di telinganya. Dan jikapun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata, ‘Al-Qur`an ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu.’” (al-An’aam: 25)

Manusia seperti itu tidak menjadi suatu ancaman bagi Islam atau Al-Qur`an dengan segala tindakan yang mereka lakukan. Tidak peduli berapa banyak mereka berusaha untuk menyebabkan kehancuran terhadap Al-Qur`an dan untuk memalingkan atau menyesatkan orang lain dari agama mereka, sebenarnya mereka tidak melakukan apa pun kecuali membinasakan diri mereka sendiri tanpa mereka sadari. Fakta ini dinyatakan dalam kelanjutan ayat sebelumnya,

“Mereka melarang (orang lain) mendengarkan Al-Qur`an dan mereka sendiri menjauhkan diri darinya, dan mereka hanyalah membinasakan diri mereka sendiri, sedang mereka tidak menyadari.” (al-An’aam: 26)

Ketika mereka pada akhirnya benar-benar menyadari kekeliruan jalan mereka, hal tersebut tidaklah bermanfaat karena mereka sudah sangat terlambat dan tidak ada cara lain untuk memperbaiki kebinasaan yang mereka buat sendiri.

“Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata, ‘Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang beriman.’ (Tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan).” (al-An’aam: 27)

Asumsi Bahwa Al-Qur`an Adalah Tiruan Atau Imitasi Dari Kitab-Kitab Suci Lainnya

Al-Qur`an merupakan satu-satunya kitab suci yang berasal dari Allah bagi seluruh umat manusia sebagai suatu peringatan dan petunjuk, dan terjamin validitasnya sampai hari kiamat. Umat manusia pernah mendapatkan beberapa kitab suci yang diturunkan sebelum Al-Qur`an. Akan tetapi, Allah telah menjamin pemeliharaan Al-Qur`an. Fakta ini disebutkan dalam ayat,

“Sesungguhnya, Kamilah yang menurunkan Al-Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (al-Hijr: 9)

Klaim yang berkembang luas lainnya di antara orang-orang bodoh adalah bahwa Nabi Muhammad terinspirasi oleh kitab Taurat dan Injil kemudian menulis Al-Qur`an. Akar permasalahannya adalah bahwa klaim yang benar-benar imajiner dan sama sekali tidak mendasar ini menganggap adanya persamaan antara apa yang ada di dalam Al-Qur`an dan kitab Taurat dan Injil.

Adalah hal yang amat wajar bila terdapat kesamaan antara ketiga kitab tersebut karena—akhirnya (jika kita memandang pada bagian isi Taurat dan Injil)—ketiganya mengandung wahyu Allah dan pesannya adalah satu dan sama. Bahasan utamanya, seperti keberadaan Allah, Tauhidullah, sifat-sifat-Nya, keimanan terhadap hari akhir, karakteristik kaum mukminin, kaum munafikin, dan mereka yang menentang Allah, kehidupan bangsa-bangsa terdahulu, petunjuk, larangan, dan nilai-nilai moral, merupakan fakta-fakta universal dan akan tetap ada di sepanjang masa.

Konsekuensinya, tidaklah mengherankan bila topik-topik ini yang disebutkan di dalam kitab-kitab suci sebelumnya menyerupai atau paralel dengan apa yang ada dalam Al-Qur`an. Sebenarnya, tidak ada pernyataan dalam Al-Qur`an bahwa Islam adalah agama yang sangat berbeda. Persamaan-persamaan tersebut dinyatakan dalam ayat Al-Qur`an sebagai berikut.

“Dan sesungguhnya Al-Qur`an itu benar-benar (tersebut) dalam kitab-kitab orang yang dahulu. Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka bahwa para ulama bani Israel mengetahuinya?” (asy-Syu’araa`: 196-197)

“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah....” (an-Nisaa`: 131)

Selain itu, dinyatakan dalam Al-Qur`an bahwa Al-Qur`an membenarkan apa yang ada di dalam Taurat dan Injil,

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang....” (al-Maa`idah: 48)

Kualitas pembenaran kitab-kitab sebelumnya tidaklah aneh bagi Al-Qur`an, tetapi memang telah dinyatakan dalam semua kitab yang terdahulu tersebut. Ktab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa a.s. membenarkan kitab sebelumnya, yaitu Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s.. Kenyataan ini dinyatakan dalam Al-Qur`an,

“Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi-nabi bani Israel) dengan Isa putra Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil sedang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.” (al-Maa`idah: 46)

Ini adalah hukum Allah dan tentulah berlaku juga bagi Al-Qur`an. Beberapa bahasan yang sama dengan yang terdapat dalam kitab-kitab suci lainnya telah disebutkan dalam Al-Qur`an. Permulaan dilakukannya ibadah haji oleh Nabi Ibrahim, yaitu dalam surah al-Hajj ayat 26 dan 27, adanya kewajiban shalat setiap hari dan membayar zakat sebelum masa Rasulullah terdapat dalam surah al-Anbiyaa` ayat 72 dan 73, dan akhlak mulia yang diperintahkan bagi semua nabi terdapat dalam surah al-Mu`minuun ayat 51; semuanya merupakan bahasan yang umum.

“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu memperserikatkan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang ruku’ dan sujud. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.’” (al-Hajj: 26-27)

“Dan Kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim) Ishaq dan Ya’qub, sebagai suatu anugerah (dari Kami). Dan masing-masingnya Kami jadikan orang-orang yang saleh. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah.” (al-Anbiyaa`: 72-73)

“Hai para Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal saleh. Sesungguhnya, Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Mu`minuun: 51)

Kita dapat menyimpulkan bahwa terdapat keyakinan yang sama antara Al-Qur`an dan kitab-kitab suci lainnya, dan bahwa ini tidak saja alami, tetapi juga logis. Karenanya, keberadaan berbagai persamaan tersebut tidaklah saling bertentangan; justru hal tersebut lebih jauh memberikan penekanan akan kebenaran bahwa semua kitab suci tersebut berasal dari sumber yang satu, yaitu Allah. Ini adalah kenyataan yang dinyatakan dalam Al-Qur`an dan dibenarkan oleh akal dan logika.

Allah telah menurunkan ayat-ayat-Nya tentang bahwasanya Al-Qur`an adalah kitab yang benar yang diturunkan oleh-Nya dan keadaan mereka yang tidak mengimani kebenaran ini.

“Tidaklah mungkin Al-Qur`an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi, (Al-Qur`an itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam. Atau (patutkah) mereka mengatakan, ‘Muhammad membuat-buatnya.’ Katakanlah, ‘(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surah seumpamanya dan panggilah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.’ Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna, padahal belum datang kepada mereka penjelasannya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu.” (Yunus: 37-39)

Selain itu, terdapat satu dimensi lain dalam bahasan ini. Nabi Muhammad bukanlah seseorang yang telah mengumpulkan berbagai informasi dan mencarinya, baik dalam Taurat maupun Injil, selama hidupnya. Para sahabat Rasulullah yang sangat dekat dengannya telah mengakui fakta bahwa Rasulullah tidak pernah membaca, menulis, bekerja, atau mencari-cari berbagai informasi dari kitab-kitab suci ini. Tidak ada seorang pun yang mempunyai keraguan tentang hal ini. Ditambah lagi, karakteristik Rasulullah ini telah benar-benar termasyhur di kalangan kaum kafir yang digunakan Al-Qur`an sebagai bukti untuk melawan mereka,

“Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur`an) sesuatu kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu).” (al-‘Ankabuut: 48)

Istilah “ummi”, yang merujuk pada seseorang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang kitab-kitab suci terdahulu dan bukan sebagai umat dari agama-agama ini, digunakan Al-Qur`an bagi Nabi Muhammad saw. untuk menekankan sifatnya. Ayat tersebut adalah,

“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil....” (al-A’raaf: 157)

Konteks dalam istilah “ummi” yang digunakan untuk merujuk pada mereka yang bukan umat Nasrani atau Yahudi, tampak pada ayat,

“Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah, ‘Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku.’ Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummi, ‘Apakah kamu (mau) masuk Islam?’ Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (Ali Imran: 20)

Sebagaimana kita dapat simpulkan dari ayat tersebut, istilah “ummi” digunakan untuk merujuk pada manusia yang belum pernah diturunkan kitab kepadanya. Jadi, hal tersebut menjadi jelas bahwa istilah tersebut tidak digunakan Al-Qur`an dengan bentuk klasikal yang bermakna “buta huruf”.

Ketidakselarasan Dan Perbedaan

Sejauh ini, kami telah menerangkan berbagai logika yang ada di belakang persamaan-persamaan yang terdapat di dalam Al-Qur`an dan kitab-kitab suci lainya. Akan tetapi, ketika seseorang memberikan perhatian yang cukup terhadap hal tersebut, dia akan menyadari bahwa sebenarnya terdapat banyak lagi ketidakselarasan dan perbedaan antara semua kitab tersebut. Sebagai tambahan pada persamaan-persamaan yang ada, perbedaan yang dimiliki Al-Qur`an dibandingkan dengan kitab-kitab samawi lainnya dan bagaimana Al-Qur`an membenarkan perubahan-perubahan yang terdapat dalam kitab-kitab suci lainnya, merupakan bukti bahwa—secara kata per kata—Al-Qur`an adalah sebuah kitab suci.

Karena kitab-kitab samawi yang diturunkan sebelumnya telah mengalami berbagai perubahan yang dilakukan oleh manusia dan telah kehilangan sebagian besar orisinalitas wahyu ilahiyahnya, kitab-kitab tersebut mengandung logika dan referensi yang bertentangan, dan pada saat yang sama bertentangan secara langsung dengan kandungan Al-Qur`an. Juga terdapat berbagai variasi dalam kisah-kisah yang terdapat di dalamnya dibandingkan dengan Al-Qur`an.

Kitab-kitab ini telah mengalami banyak perubahan dalam kandungan dan logikanya dan begitu juga gaya serta komposisinya. Ini karena kitab-kitab itu telah berubah menjadi teks-teks sejarah agama yang mistis daripada sebagai kitab-kitab samawi. Misalnya, kitab pertama dari Taurat, Genesis (Kejadian), menceritakan kisah bani Israel dari awal penciptaan hingga kematian Nabi Yusuf. Gaya ekspresi historis ini mendominasi sebagaimana yang terdapat pada kitab-kitab Taurat lainnya.

Dengan cara yang sama, bagian-bagian inisial dari keempat Injil yang resmi (Matius, Markus, Lukas, dan Johanes) mengandung kisah hidup Nabi Isa sebagai topik utamanya. Bahasan utama dari keempat jenis Injil ini adalah kisah kehidupan, sabda, dan kegiatannya.

Sebaliknya, Al-Qur`an mempunyai gaya yang sangat berbeda. Ada sebuah ajakan terbuka kepada agama (Islam) yang diawali dengan surah al-Faatihah. Pada bahasan-bahasannya, topik utama yang terkandung dalam Al-Qur`an adalah pengakuan terhadap Allah sebagai bukti ketidaksempurnaan seorang makhluk dan perintah kepada kaum mukminin untuk menjauhi perbuatan syirik agar menyerahkan diri mereka hanya kepada Allah.

Pada masa kini, dalam kitab Taurat yang telah diubah, terdapat banyak ketidaksempurnaan dan sifat-sifat manusia yang telah disamakan dengan sifat Allah (Allah adalah di atas segalanya). Misalnya, kisah Nabi Nuh yang mengandung banyak kebohongan tentang sifat-sifat Allah. Karakter manusia seperti merasa lelah atau menyesal, berdiam diri, dan banyak lagi sifat yang tidak dapat disebutkan di sini telah disamakan dengan sifat Allah. Taurat juga banyak menyebutkan tentang Allah ketika kitab tersebut menerangkan tentang Allah sebagaimana seorang manusia, seperti berjalan, berkelahi, dan merasa marah (Mahasuci Allah dari apa yang mereka katakan).

Ini adalah alasan mengapa ada peringatan-peringatan yang jelas dalam Al-Qur`an terhadap mereka yang mengada-ada dan mengatakan kebohongan-kebohongan dari golongan kaum Yahudi. Salah satu tuduhan tersebut adalah bahwa Allah (Yang Mahakuasa) adalah kikir.

“Orang-orang Yahudi berkata, ‘Tangan Allah terbelenggu.’ Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki....” (al-Maa`idah: 64)

Pada keseluruhan kandungannya, Al-Qur`an berbeda dengan Taurat karena Al-Qur`an tidak hanya berbicara tentang satu bangsa, tetapi tentang seluruh peradaban, kebangkitan dan kerunTuhannya. Sebagaimana diperintahkannya mereka yang telah diturunkan Al-Qur`an kepadanya untuk bertanggung jawab mengikuti semua perintahnya. Sifat-sifat ini menjadikannya berbeda dan universal. Karena semua kitab samawi (kecuali Al-Qur`an) telah mengalami perubahan yang dilakukan oleh manusia di sepanjang sejarahnya dan telah hilangnya orisinalitasnya, kitab-kitab itu tidak lagi mempunyai sifat kesamawiannya. Beberapa prinsip dasar ajaran Kristus yang disebutkan dalam kitab Injil, yang dianggap sebagai satu sumber Al-Qur`an, telah disanggah secara terbuka oleh Al-Qur`an. Satu hal yang penting adalah mereka mengasumsikan Nabi Isa sebagai anak Allah. Keyakinan ini telah dinyatakan sebagai satu bentuk kebohongan terhadap Allah.

“Dan mereka berkata, ‘Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak perempuan.’ Sesungguhnya, kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.” (Maryam: 88-93)

Pernyataan serupa lainnya yang merupakan penentangan terhadap Al-Qur`an adalah penyaliban Nabi Isa oleh bangsa Yahudi. Dalam Al-Qur`an, dinyatakan bahwa bangsa Yahudi tidaklah membunuh Yesus (Nabi Isa), tetapi dia telah diserupakan. Ditambahkan pula bahwa Allah telah mengangkatnya ke haribaan-Nya.

Kesimpulannya, jika kita membuat suatu perbandingan umum, kita akan mengetahui bahwa kebenaran penting yang diberikan sebagai petunjuk oleh Al-Qur`an bagi umat manusia adalah Tauhidullah, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Dia mempunyai sifat yang tidak sama dengan makhluk-Nya atau sifat-sifat negatif lainnya. Fakta-fakta penting ini diulang-ulang dalam Al-Qur`an dalam kisah-kisah qur`ani yang mengandung petunjuk, peringatan, dan pengetahuan.

Semua ini membuktikan bahwa Al-Qur`an adalah sebuah kitab samawi.

Miskonsepsi Bahwa Informasi Tentang Sains Yang Terkandung Dalam Al-Qur`an Berasal Dari Peradaban Masa Lalu

Kami juga harus menyebutkan pernyataan irasional lainnya yang dilontarkan oleh manusia tentang Al-Qur`an. Dalam bab sebelumnya, kita mengetahui bahwa informasi tentang sains dalam Al-Qur`an disusun lebih maju dibandingkan pengetahuan yang ada di masa itu. Mereka yang menentang fakta yang jelas ini berargumentasi—dalam rangka menghilangkan jejak keajaiban Al-Qur`an dari kitab-kitab lainnya—bahwa Nabi Muhammad saw. mendapatkan informasi semua ini setelah terinspirasi oleh kemajuan peradaban di masa itu.

Berdasarkan pernyataan ini, Nabi kita (difitnah) telah mengadopsi informasi tentang konsep-konsep seperti astronomi, embriologi, dan obat-obatan dari peradaban kuno. Misalnya, mereka berpendapat bahwa beliau telah menemukan data-data tentang astronomi dari bangsa Sumeria dan tentang obat-obatan dari berbagai koleksi papyrus yang dimiliki bangsa Mesir Kuno dan mengabadikannya dalam Al-Qur`an.

Invaliditas dari asumsi ini dapat dilihat dari beberapa poin yang ada. Sebagaimana telah diketahui bahwa Nabi Muhammad tidak pernah melakukan serangkaian riset seperti itu selama hidupnya. Sejauh ini tidak ada seorang pun yang membantah hal tersebut. Selain itu, hal yang sangat masyhur adalah bahwa Rasulullah juga tidak mempunyai pengetahuan sama sekali tentang bahasa dari peradaban-peradaban ini.

Di samping itu, seseorang yang ingin melakukan riset seperti itu pada masa tersebut akan mengalami berbagai kesulitan. Yang sangat jelas, pada abad ke-7, bangsa Arab tidak mempunyai macam-macam peralatan riset kontemporer seperti perpustakaan yang besar, pers, toko-toko buku, atau internet. Bahkan dengan teknologi mutakhir dewasa ini pun, adalah bukan pekerjaan yang mudah untuk melakukan riset terhadap dokumen-dokumen bangsa Mesir Kuno tentang embriologi. Pembangunan peradaban ini berlangsung sejak lima ribu tahun yang lalu. Jumlah sumber-sumber tertulis yang tetap ada di masa sekarang sangatlah terbatas. Selain itu, tidak semua dokumen tersebut telah diterjemahkan. Sebagai tambahan, adalah hal yang penting untuk memiliki informasi detail tentang sejarah yang bertujuan untuk mengevaluasi dan memahami secara penuh terjemahan-terjemahan ini. Singkatnya, kajian seperti ini akan menemukan kesulitan yang luar biasa, bahkan di bawah kondisi yang lebih mudah pun seperti di masa sekarang ini.

Lagi pula, tidak ada alasan untuk memikirkan bahwa pengetahuan yang kita warisi dari peradaban kuno adalah benar dan akurat secara keseluruhan. Informasi yang tidak benar, takhayul, dan kepercayaan-kepercayaan yang diselewengkan merupakan hal yang biasa dalam masyarakat kuno. Jika, sebagaimana dinyatakan oleh para penentang, kandungan sains yang terdapat dalam Al-Qur`an diadopsi dari berbagai budaya peradaban kuno, seharusnya mengandung kesalahan dan inkonsistensi yang serupa. Akan tetapi, Al-Qur`an terbebas dari semua itu. Sains modern telah membuktikan bahwa semua ayat Al-Qur`an yang saintifik seratus persen akurat. Realitas ini lebih jauh ditekankan dalam ayat,

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur`an? Kalau sekiranya Al-Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (an-Nisaa`: 82)

Dengan demikian, argumentasi bahwa Nabi Muhammad mengadopsi kandungan ayat-ayat Al-Qur`an yang saintifik dari sumber-sumber peradaban lainnya adalah benar-benar tidak mendasar, seperti apa yang mereka ada-adakan. Keberadaan orang-orang yang membuat pernyataan-pernyataan seperti itu dan jawaban yang seharusnya diberikan kepada mereka dinyatakan dalam ayat,

“Dan orang-orang kafir berkata, ‘Al-Qur`an ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad, dan dia dibantu oleh kaum yang lain.’ Maka sesungguhnya, mereka telah berbuat suatu kezaliman dan dusta yang besar. Dan mereka berkata, ‘Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.’ Katakanlah, ‘Al-Qur`an itu diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi. Sesungguhnya, Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (al-Furqaan: 4-6)

Khayalan Bahwa Al-Qur`an Diturunkan Hanya Kepada Bangsa Arab

Orang-orang yang bersikap menantang ini mempromosikan sarana-sarana lainnya dalam upaya memisahkan dan menjauhkan orang dari Al-Qur`an, yaitu pernyataan mereka bahwa Al-Qur`an diturunkan hanya kepada bangsa Arab dan hanya mereka yang diharuskan menaatinya. Seseorang yang pernah membaca Al-Qur`an walau hanya sekali akan menyadari bagaimana tidak mendasar dan menggelikannya sugesti ini.

Banyak ayat Al-Qur`an yang memberikan penekanan tentang fakta bahwa Nabi Muhammad adalah seorang utusan yang diutus bagi seluruh umat manusia dan bahwa setiap orang bertanggung jawab menaati seluruh ajaran yang terkandung dalam Al-Qur`an sampai datangnya hari kiamat. Kami akan memuat beberapa ayat yang membahas tentang hal tersebut di sini dan semua ini seharusnya lebih dari cukup untuk menjadi suatu kesimpulan,

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Saba`: 28)

“Katakanlah, ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi....’” (al-A’raaf: 158)

Mereka yang melakukan tindakan protes itu sedang mencoba untuk membingungkan orang-orang yang belum mengetahui dan menyebabkan berbagai gangguan dengan mendasarkan pernyataan mereka pada ayat Al-Qur`an yang menyatakan,

“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Mahakuasa lagi Mahabijaksana.” (Ibrahim: 4)

Ayat tersebut benar-benar jelas. Seorang rasul akan berbicara dengan menggunakan bahasa yang sama dengan bangsa di mana dia diutus. Ini selalu menjadi permasalahan sepanjang sejarah. Hanya orang-orang yang seperti itulah yang dapat mengatakan bahwa wahyu Allah hanya diperuntukkan bagi umat yang berada di sekelilingnya secara lengkap dan sempurna. Hal ini karena kitab yang diturunkan menggunakan bahasa yang sama dengan bahasa si utusan itu dan bangsanya. Tidak ada lagi yang tampak lebih alamiah daripada hal tersebut.

Akan tetapi, para penentang tersebut berargumentasi demikian agar terhindar dari agama, tak peduli agama apa pun itu. Karakter suka menentang ini telah diklarifikasi dalam Al-Qur`an,

“Dan jikalau Kami jadikan Al-Qur`an itu suatu bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan, ‘Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?’ Apakah (patut Al-Qur`an) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah, ‘Al-Qur`an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al-Qur`an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.” (Fushshilat: 44)

Adalah hal yang imperatif (menguatkan) untuk membentuk kesatuan serupa itu antara seorang rasul, bangsanya, dan kitab yang dibawanya agar disampaikannya kandungan ajaran Ilahi tersebut bagi umat manusia secara utuh dan menyeluruh. Juga untuk mencegah berbagai peristiwa yang mengandung masalah komunikasi yang akan menghalangi pembentukan fondasi sebuah agama. Buktinya, hal ini tidak mendorong atas sesuatu apa pun untuk terpengaruh bahwa bangsa-bangsa yang lain tidak akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap Al-Qur`an. Makna dan ajaran-ajaran Al-Qur`an dapat dengan mudah diinterpretasikan dan diterangkan dengan menggunakan berbagai bahasa. Sebagaimana fakta tersebut, jelaslah apa yang telah berperan. Kondisi ini tidak lagi menjadi penghalang untuk mempelajari atau mengamalkan agama.

Misinterpretasi Terhadap Istilah “Kami” Yang Digunakan Allah Dalam Merujuk Kepada Diri-Nya

Allah menggunakan istilah “Kami” untuk merujuk diri-Nya sendiri di berbagai tempat dalam Al-Qur`an. Beberapa contoh dari ayat-ayat ini adalah sebagai berikut.

“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami beri bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada Isa putra Maryam dan Kami telah memperkuatnya dengan Ruhul Qudus. Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?” (al-Baqarah: 87)

“Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.” (al-Baqarah: 130)

Para penentang tersebut mengasumsikan istilah “Kami”, yang dipergunakan Allah sebagai rujukan kepada diri-Nya sendiri dalam Al-Qur`an sebagai bentuk jamak, dan mensugesti bahwa penggunaan kata ini bertentangan dengan fakta bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Mereka meyakini bahwa mereka telah membuat suatu penemuan yang sangat signifikan. Pada kenyataannya, keterangan dari misinterpretasi ini, yang merupakan hasil dari suatu pendekatan yang superfisial dan angkuh, adalah sangat sederhana. Dalam bahasa Arab, kata ganti orang “Kami” tidak hanya dipergunakan bagi suatu bentuk jamak, tetapi juga dipergunakan untuk memberikan penekanan pada keagungan, kemuliaan, kehormatan, kejayaan, posisi yang tinggi, dan posisi dalam bentuk tunggal. Istilah “Kami” yang digunakan bagi Allah merupakan aplikasi dari konteks ini.

Mentalitas yang dimiliki istilah “Kami” yang digunakan dalam bahasa Arab juga diaplikasikan bagi penggunaan yang sopan dari bentuk jamak pada kata ganti orang “Anda” untuk merujuk pada seseorang dalam bahasa Prancis dan juga dalam beberapa bahasa lainnya.

Inti dan pesan yang paling signifikan dari Al-Qur`an adalah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan hanya Dialah yang harus ditaati. Fakta bahwa tidak ada Tuhan selain Allah ditekankan dalam berbagai ayat Al-Qur`an, seperti,

“Sesungguhnya, ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan selain Allah; dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Ali Imran: 62)

“... dan sekali-kali tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan.” (Shaad: 65)

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.” (Muhammad: 19)

Jelaslah bahwa istilah “Kami” yang dipergunakan dalam merujuk kepada Allah sendiri pada berbagai tempat dalam Al-Qur`an, tidak diaplikasikan sebagai bentuk jamak, tetapi lebih ditujukan untuk menggambarkan keagungan, kemuliaan, dan kesucian Allah.

Pada kenyataannya, seseorang harus menyadari akan penggunaan khusus dari istilah ini dalam bahasa Arab untuk mendapatkan tujuan yang dimaksud. Seseorang yang memiliki sedikit kekuasaan logika dapat mengapresiasikan kondisi yang berada di balik istilah ini. Kondisi mereka yang mempersepsikan hal ini sebagai suatu kontradiksi atau bertentangan, memberikan suatu gambaran yang jelas tentang tingkatan inteligensi dan pemahaman dan tingkah laku yang mereka perbuat.

Kegagalan Untuk Memahami Perumpamaan-Perumpamaan yang Terdapat Dalam Al-Qur`an

Al-Qur`an adalah suatu kitab yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang berhati-hati, berakal, dan ikhlas. Mereka yang tidak memiliki sifat-sifat ini, yaitu orang-orang yang tidak memiliki kesadaran dan kemampuan untuk menggunakan akalnya dan mempunyai motif tersembunyi, tidak pernah dapat memahami Al-Qur`an ataupun menemukan berbagai misteri dan ajaran yang lebih baik yang terkandung di dalamnya. Ini juga berlaku terhadap perumpamaan-perumpamaan yang diberikan dalam Al-Qur`an yang menawarkan petunjuk dan perintah-perintah. Satu ayat Al-Qur`an yang menggambarkan bagaimana orang-orang yang skeptis tidak mampu memahami berbagai perumpamaan dalam Al-Qur`an dan, selain itu, betapa perumpamaan-perumpamaan itu hanya dapat menjadikan mereka bertambah sesat.

“Sesungguhnya, Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan, ‘Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?’ Dengan perumpamaan itu, banyak orang yang disesatkan Allah dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.” (al-Baqarah: 26)

Seorang yang beriman dengan mudah dapat memahami bahwa perumpamaan seekor nyamuk yang disebutkan dalam ayat di atas merupakan suatu sarana yang dapat membuktikan kehebatan dari kekuasaan Allah. Serangga yang sangat kecil ini, yang hanya memiliki panjang satu sentimeter, merupakan satu contoh dari penciptaan Allah yang sangat sempurna dan unik. Serangga tersebut mempunyai berbagai sistem, mekanisme, dan suatu struktur yang jauh lebih kompleks daripada berbagai peralatan teknologi mutakhir atau komputer. Ia tetap bertahan hidup hingga masa sekarang ini dan tidak mengalami perubahan dari awal proses penciptaannya. Allah memberikan hasil penciptaan-Nya yang sangat mengagumkan ini sebagai suatu perumpamaan dalam Al-Qur`an untuk menegaskan supremasi penciptaan-Nya. Orang-orang yang benar-benar beriman dapat menyimpulkan dari perumpamaan ini bahwa, bahkan, seekor nyamuk membuka jalan menuju perasaan dan pemahaman akan pengetahuan yang tak terbatas dan kekuasaan Allah. Akan tetapi, orang-orang kafir yang skeptis dan tidak berakal, daripada belajar untuk mempersepsikan setiap penciptaan yang ada di sekelilingnya dengan pandangan yang apresiatif, mereka akan tetap dengan pertanyaan yang penuh dengan keheranan, ”Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?”

Kegagalan Dalam Memahami Pengulangan-Pengulangan Yang Terdapat Dalam Al-Qur`an

Pengulangan-pengulangan yang terdapat dalam Al-Qur`an merupakan sumber yang jauh lebih membingungkan mereka yang tidak berakal yang tidak dapat memahami rasionalitas di balik semua itu. Pada bagian-bagian tertentu dalam Al-Qur`an, beberapa bahasan dan ayat senantiasa diulang-ulang. Referensi yang konstan disusun dalam kisah-kisah yang berbeda, misalnya, dan berbagai sugesti terhadap prinsip-prinsip agama, seperti keberadaan Allah dan Tauhidullah, wahyu, konsesi, urgensi memuji Allah, alam fana di dunia ini, rasa berterima kasih, dan menjalani kehidupan ini di jalan Allah. Lebih jauh, terdapat beberapa contoh ketika satu ayat diulangi kata per kata pada ayat yang lain.

Hal ini mempunyai motif yang rasional. Agar dapat memberikan kesan yang mendalam akan bahasan yang esensial pada hati dan pikiran manusia, ayat-ayat tersebut diulang-ulang di setiap kesempatan. Selain itu, setiap aspek dari berbagai bahasan yang vital ini menjadi lebih mudah dipahami jika hal itu diungkapkan dengan berbagai contoh dan kisah yang berbeda.

Salah satu pengulangan yang sangat termasyhur dalam Al-Qur`an adalah ayat,

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”

Ayat ini disebutkan dalam 78 ayat yang terdapat dalam surah ar-Rahmaan sebanyak 31 kali. Ini merupakan pengulangan yang bijaksana yang menyediakan atmosfir vital untuk mengingatkan manusia akan pentingnya bersyukur, juga lebih merupakan pernyataan meditatif (memusat) daripada tetap tidak tertarik melakukan sesuatu sama sekali karena mereka menyadari betapa indahnya surga yang dijanjikan Allah yang penuh dengan berbagai kesenangan dan rahmat yang besar. Kekaguman yang penuh hormat dan rasa agung hadir di dalam hati setiap umat yang beriman yang diperkuat dengan pengulangan yang terdapat pada ayat tersebut. Dalam hal ini, hasrat yang kuat hadir di dalam hati dengan tulus dan tercermin pada sikap seorang mukmin yang terbaik.

Kegagalan Memahami Gaya Al-Qur`an (Do’a-do’a Kaum Mukminin Dan Ucapan Malaikat....)

Setiap ayat Al-Qur`an merupakan satu contoh dari kebijaksanaan abadi dari Allah. Begitupun juga, setiap bahasan yang terkandung di dalamnya diterangkan dengan menggunakan gaya yang substansial dan sempurna. Pada beberapa bagian, satu bahasan diterangkan dengan cara yang sangat tepat dan terperinci, sedangkan pada bagian-bagian lainnya satu ayat dibuat dengan cara yang mudah dipahami hanya dengan satu pendekatan yang pendek dan sederhana. Misalnya, pada beberapa ayat Al-Qur`an, pernyataan-pernyataan atau do’a-do’a kaum mukminin, para malaikat, atau bentuk-bentuk ketiga lainnya disampaikan secara langsung tanpa dibarengi dengan pendahuluan sebelumnya. Kaum mukminin yang sejati dapat dengan mudah memahami alasan dari mengapa pernyataan-pernyataan ini disampaikan dengan cara yang demikian.

Akan tetapi, gaya Al-Qur`an ini sulit dipahami oleh mereka yang hanya mempunyai kemampuan kontemplasi terbatas. Mereka berasumsi bahwa karena Al-Qur`an terdiri dari kalam Allah, maka adanya fakta bahwa kata-kata ini mengandung pernyataan yang lainnya merupakan sesuatu yang paradoks. Meskipun demikian, kata-kata ini berfungsi sebagai contoh dan pengakuan bagi kaum yang benar-benar beriman. Dia yang menyampaikan pernyataan-pernyataan yang disebutkan dalam Al-Qur`an ini adalah Allah. Karenanya, semua itu adalah kalam-Nya.

Misalnya, beberapa ayat terakhir surah al-Faatihah merupakan do’a orang-orang yang beriman,

“... hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (al-Faatihah: 5-7)

Dengan cara ini, Allah memberitahu orang-orang yang beriman tentang cara atau gaya yang seharusnya mereka adopsi ketika mereka sedang berdo’a yang dimulai dari awal. Tidak ada pernyataan yang merupakan pendahuluan pada awal do’a ini sepanjang kalimat “berdoalah sebagaimana yang disebutkan”, karena situasinya adalah jelas. Contoh serupa lainnya adalah do’a yang disebutkan pada akhir surah al-Baqarah,

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan dia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. Mereka berdo’a, ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (al-Baqarah: 286)

Seseorang yang cukup peka dapat dengan mudah mengetahui bahwa Allah sedang menyampaikan satu contoh cara atau pola berdo’a bagi orang-orang yang benar-benar beriman melalui ayat-ayat ini, dan mereka akan terus berdo’a seperti itu. Sebaliknya, orang-orang yang tidak berakal tidak akan pernah mengetahui watak alamiah nyata dari ayat-ayat seperti itu dan akan disesatkan oleh setan.

Tentang Penciptaan Alam Dalam Enam Hari

Disebutkan dalam sekian banyak bagian dalam Al-Qur`an bahwa alam semesta ini diciptakan dalam waktu enam hari. Perhatian khusus sering kali diarahkan pada salah satu ayat tertentu di mana dalam ayat lain disebutkan jumlah hari tertentu sehingga dengan tambahan itu menjadi delapan hari. Orang-orang yang tidak mampu menangkap bukti logis di belakang ayat-ayat ini mengasumsikan bahwa telah terjadi perbedaan dan konflik dengan ayat-ayat lain di dalam Al-Qur`an yang menyebutkan bahwa penciptaan semesta ini berlangsung selama enam hari. Ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut.

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya, patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta alam.’ Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, ‘Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.’ Keduanya menjawab, ‘Kami datang dengan suka hati.’ Maka dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan kepada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (al-Fushshilat: 9-12)

Jika hari-hari yang ada pada ayat di atas dihitung, dia akan menjadi delapan jumlahnya, padahal telah disebutkan pada ayat ketiga dalam surah Yunus dan pada ayat-ayat yang lain bahwa bumi, langit, dan apa saja yang berada di antara keduanya diciptakan dalam jangka waktu enam hari. Situasi ini akan tampak tidak selaras bagi para pembaca Al-Qur`an yang melihat secara superfisial (tidak mendalam), yang tidak mau menggunakan otak dan logikanya atau tidak ingin memperhatikan secara saksama dan mendalam. Orang-orang yang melakukan pendekatan kepada Al-Qur`an dengan tujuan untuk mencari kesalahan dalam Al-Qur`an atau ingin mencari sesuatu yang ada di dalamnya akan selalu mengutip ayat di atas.

Andaikata seseorang berkonsentrasi dan mempergunakan hikmah, dia akan dengan terbuka melihat bahwa di dalam ayat itu tidak ada sesuatu yang paradoksal. Jika kita memperhatikan pada periode waktu yang disebutkan di dalam ayat-ayat itu, kita akan sampai pada kesimpulan berikut ini.

  • Dibutuhkan masa empat hari dari awal mula penciptaan alam semesta hingga makanan siap tersedia, atau lingkungan yang dibutuhkan untuk kehidupan makhluk telah tersedia dengan baik disertai dengan penciptaan pepohonan dan binatang.
  • Permulaan dari periode ini, yang sering disebut dengan pembentukan bumi yang bersamaan dengan penciptaan semesta, atau secara singkat penciptaan alam semesta, mengambil masa dua bagian awal dari empat hari yang ada. Yang tak lain adalah dua hari pertama dari empat hari yang disebutkan dalam ayat selanjutnya.
  • Pada ayat 11 dan 12 disebutkan bahwa langit dibentuk dalam jangka waktu dua hari. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa itu terjadi selama enam hari.

Pendek kata, ayat itu menjelaskan perbedaan frame waktu mengenai setiap peristiwa yang terjadi pada masa waktu enam hari tersebut dalam penciptaan yang dimaksudkan.

Perlu ditekankan di sini bahwa istilah “hari” yang disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur`an itu tidak merujuk pada waktu 24 jam. Sebaliknya, ia mengindikasikan pada periode dan fase yang berbeda.

Spekulasi Tentang Nama Haman

Orang-orang yang telah dikuasai nafsunya untuk melihat inkonsistensi yang ada dalam Al-Qur`an akan mereferens untuk menyebutkan nama Haman yang disebutkan di dalam Al-Qur`an sebagai orang yang dekat dengan Fir’aun.

Dalam Taurat, nama Haman tidak disebutkan pada saat Nabi Musa hidup. Sebaliknya, orang yang bernama Haman itu disebutkan dalam Injil untuk menunjukkan pada seseorang yang membantu raja Babilonia yang hidup pada 1.100 tahun setelah Nabi Musa dan membantai orang-orang Yahudi.

Mereka yang mengklaim bahwa Rasulullah menulis Al-Qur`an berdasarkan informasi Taurat dan Injil, juga lebih lanjut mengatakan bahwa beliau telah mengkopi materi-materi yang ada di dalam keduanya dengan cara yang salah.

Kesalahan klaim mereka ini menjadi terkandaskan sejak dua ratus tahun yang lalu tatkala hieroglif yang ada di Mesir diuraikan maknanya dan nama Haman didapatkan dalam tulisan itu.

Hingga saat itu, belum mungkin untuk membaca semua tulisan atau lempengan batu bertulis yang berupa huruf Mesir Kuno. Bahasa Mesir Kuno dan hieroglif hadir di tengah-tengah kehidupan orang-orang Mesir selama beribu-ribu tahun. Akan tetapi, sejak menyebarnya agama Kristen dan pengaruh budayanya pada abad kedua dan ketiga Masehi, orang-orang Mesir kuno melupakan agama dan sekaligus bahasa mereka, dan penggunaan hieroglif secara bertahap terhenti. Tahun 394 M adalah tahun terakhir pengggunaan hieroglif itu. Setelah itu, bahasa itu dilupakan dan tidak menyisakan seorang pun yang mampu membaca tulisan itu. Hingga dua ratus tahun yang lalu.

Bahasa orang Mesir Kuno mulai diurai pada tahun 1799 dengan ditemukannya sebuah lempengan yang bertuliskan tahun 196 Sebelum Masehi yang disebut dengan “Rosetta Stone”. Keanehan dari lempengan ini adalah adanya fakta bahwa ia ditulis dengan menggunakan tiga bentuk tulisan yang berbeda: hieroglif, demotik (bentuk yang sangat sederhana dari tulisan Mesir Kuno), dan yang ketiga adalah tulisan Yunani Kuno.

Dialek Mesir Kuno diurai dengan bantuan dari versi Yunani. Seorang Prancis yang bernama Jean-Francois Champollion bisa merampungkan penguraian makna semua lempengan itu. Dengan demikian, bahasa yang telah dilupakan dan sejarah yang mengandung fakta itu muncul kembali dalam kehidupan manusia. Penemuan ini telah memungkinkan dilakukannya riset terhadap peradaban Mesir Kuno, kepercayaan, dan kehidupan sosial mereka.

Ini juga akan memungkinkan kita untuk mencari serpihan informasi penting yang saat ini sedang kita diskusikan. Nama Haman, secara fakta, telah disebutkan dalam lempengan kuno Mesir itu. Ini disebutkan pada satu monumen yang kini berdiri di museum Hof di Wina, di mana di sana ditekankan akan dekatnya hubungan Haman dengan Fir’aun (Walter Wreszinski, Agyptische Inschriften aus dem K.K. Hof Museum in Wien, 1906, J.C. Hinrich’sche Buchhandlung).

Kamus The People in New Kingdom menyebutkan bahwa Haman adalah “kepala pekerja barang tambang” (Hermanne Ranke, Die Agyptischen Personennamen, Verzeichnis der Namen, Verlag Von J J Augustin in Gluckstadt, Band I, 1935 II, 1952).

Penemuan ini membawa satu fakta yang demikian mengagumkan. Haman tidak sebagaimana yang diyakini oleh orang yang menentang Al-Qur`an, ia benar-benar orang yang hidup di Mesir pada masa Nabi Musa hidup. Lebih lanjut, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur`an, dia memiliki hubungan yang demikian dekat dengan Fir’aun dan sangat berkepentingan terhadap sebuah bangunan.

Sebagaimana yang ada dalam fakta itu, Al-Qur`an memaparkan bagaimana Fir’aun meminta Haman untuk membangun sebuah menara dalam bentuknya yang sempurna yang semuanya sesuai dengan penemuan arkeologis. Hal ini sebagaimana yang Allah firmankan,

“Dan berkata Fir’aun, ‘Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta.” (al-Qashash: 38)

Kesimpulannya ialah bahwa penemuan nama Haman pada lempengan Mesir kuno ini telah mendiskreditkan klaim lain yang dibuat oleh orang yang selalu berusaha mencari inkonsistensi di dalam ayat-ayat Al-Qur`an. Lebih dari itu, satu hal yang tidak terbantahkan bahwa Al-Qur`an adalah kitab suci yang diwahyukan oleh Allah, kembali memberikan bukti dan tidak bisa disangsikan lagi bahwa Al-Qur`an kembali memaparkan satu informasi historis yang tidak bisa didapatkan dan tidak bisa diuraikan pada masa kehidupan Rasulullah.

Spekulasi Tentang Banjir Di Masa Nabi Nuh

Peristiwa banjir di masa Nabi Nuh adalah satu hal yang oleh kebanyakan orang yang menolak kebenaran Al-Qur`an sebagai satu hal yang tidak bisa dirasionalisasikan. Karena itulah, mereka menolak peristiwa itu. Mereka yang menolak bahwa peristiwa itu pernah terjadi berargumen bahwa hal itu secara teknik sangatlah tidak mungkin di mana banjir itu melanda seluruh dunia. Lebih lanjut, mereka menyatakan bahwa jika hal itu terjadi, bisa dipastikan bahwa Al-Qur`an itu bukanlah firman Allah.

Walaupun demikian, klaim mereka itu sama sekali tidak valid jika mereka katakan hal tersebut pada Al-Qur`an karena Al-Qur`an adalah satu-satunya kitab suci yang hingga saat ini tidak pernah mengalami perubahan. Lebih dari itu, banjir yang disebutkan di dalam Al-Qur`an memiliki bentuk sangat berbeda jika kita bandingkan dengan apa yang ada di dalam Taurat ataupun budaya-budaya yang lain.

Dalam Taurat yang telah diubah, disebutkan bahwa banjir itu terjadi dan mencakup seluruh dunia dan melanda seluruh semesta. Sebaliknya, Al-Qur`an tidak pernah menyebutkan bahwa peristiwa itu melanda seluruh dunia. Al-Qur`an menyebutkan bahwa banjir itu tidak bersifat universal dan hanya bersifat regional, dan hanyalah umat yang menolak serta menentang Nabi Nuh yang mendapat hukuman dengan banjir itu.

Nabi Nuh hanya diutus untuk kaumnya, sebagaimana halnya yang terjadi dengan Nabi Huud yang hanya diutus pada kaum ‘Aad (Lihat surah Huud: 50), sebagaimana Nabi Saleh hanya diutus kepada kaum Tsamud (Huud: 61), dan banjir itu hanya menghancurkan kaum itu. Hal ini sebagaimana yang Allah firmankan,

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata), ‘Sesungguhnya, aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya, aku khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan.’” (Huud: 25-26)

Dengan demikian, kaum yang dihancurkan adalah mereka yang menolak dan secara terus-menerus melakukan penentangan kepada wahyu-wahyu yang diturunkan kepada Nabi Nuh. Al-Qur`an yang menyatakan hal itu tidak lagi memberi ruang bagi orang yang menolak kebenaran akan terjadinya peristiwa itu,

“Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya, mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya).” (al-A’raaf: 64)

“Maka Kami selamatkan Hud bersama orang-orang yang bersamanya dengan rahmat yang besar dari Kami, dan Kami tumpas orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, dan tiadalah mereka orang-orang yang beriman.” (al-A’raaf: 72)

Kita bisa melihat bahwa Al-Qur`an menyatakan hanya umat Nabi Nuh yang dihancurkan dan bukan seluruh dunia. Karena ayat Al-Qur`an demikian tegas dan gamblang, maka argumen yang menyatakan bahwa banjir di zaman Nabi Nuh itu terjadi secara universal pastilah tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk membuat kebingungan dan sebagai trik untuk mengaburkan informasi.

Faktanya adalah bahwa berbagai takhayul dan ketidaklogisan yang terdapat dalam kitab Taurat dan Injil berupa kisah dan mitos itu tidak terdapat dalam Al-Qur`an. Akan tetapi, bahwa ada beberapa versi yang dibenarkan dan faktual, itu merupakan bukti lain yang menunjukkan bahwa Al-Qur`an berasal dari Allah.

Sangat tidak mungkin bagi Al-Qur`an untuk merujuk kepada banjir sebagai suatu peristiwa yang universal dengan alasan apa pun. Allah menyatakan bahwa suatu negeri tidak akan mengalami kehancuran jika belum diutus kepadanya seorang rasul. Kehancuran akan terjadi bila orang-orang yang bertanya-tanya telah dikirimi seorang rasul untuk memberikan petunjuk dan peringatan, namun mereka menolaknya. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam surah al-Qashash,

“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota, kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.” (al-Qashash: 59)

Ayat yang lain juga menyatakan,

“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (al-Israa`: 15)

Sebagaimana dapat disimpulkan dari ayat-ayat di atas, adalah bertentangan dengan sunnatullah untuk menghancurkan suatu negeri sebelum diutusnya seorang rasul ke negeri tersebut. Nabi Nuh diutus hanya kepada kaumnya untuk mengingatkan mereka. Berdasarkan alasan ini, Allah hanya menghancurkan kaum Nabi Nuh dan tidak bangsa-bangsa lainnya yang belum diutus seorang rasul kepada mereka.

Bahan perdebatan lainnya yang berhubungan dengan masalah banjir adalah apakah air yang muncul cukup tinggi untuk menutupi seluruh daratan dan gunung-gunung di kawasan tersebut. Al-Qur’an menyebutkan bahwa kapal mendarat pada “Judi” setelah terjadi banjir. Istilah “Judi” digunakan untuk menunjukkan satu gunung tertentu, tetapi dalam bahasa Arab istilah tersebut berarti “suatu titik atau tempat yang tinggi”. Kita dapat menyimpulkan dari Al-Qur`an bahwa banjir yang terjadi pada saat itu tidak menenggelamkan seluruh daratan di dunia dan seluruh gunung, sebagaimana yang diceritakan oleh Taurat, tetapi lebih pada menutupi suatu kawasan tertentu.

Selain itu, penggalian-penggalian arkeologis yang dilakukan di seluruh kawasan terjadinya banjir telah menunjukkan bahwa hal tersebut bukanlah suatu peristiwa yang universal menutupi seluruh dunia, melainkan hanya di kawasan bencana yang meliputi wilayah yang luas di Mesopotamia. (Untuk informasi lebih lanjut, lihat Perished Nations, karya Harun Yahya, yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Negeri-Negeri yang Dibinasakan)